REVIEW
BUKU
“KAIDAH KESAHIHAN SANAD HADIS”
KARYA Dr. M. SYUHUDI ISMAIL
BAB V : KUALITAS PERIWAYATAN DAN PERSAMBUNGAN SANAD
Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits
Dosen : Rahmadi Wibowo S, Lc., M.A
Oleh :
IKA MADYARINA MASTUTI
20140720124
PAI C
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015
Judul buku : Kaidah Kesahihan Sanad Hadis,
Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah
Penulis : Prof. Dr. H. M. Syuhudi
Ismail
Jumlah
halaman : 270 halaman
Penerbit : PT. Bulan Bintang
Kota terbit : Jakarta
Tahun terbit
: 2005
BAB V
KUALITAS
PERIWAYAT DAN PERSAMBUNGAN SANAD
Dalam menentukan kualitas periwayat dan persambungan sanad ada hal yang
menjadi bagian-bagian sanad hadis yang menjadi sasaran penelitian hadis yaitu
para periwayat dalam sanad tersebut dan rangkaian persambungannya mulai dari
periwayat yang disandari oleh penghimpun hadits (al-mukharrij) sampai kepada
Nabi. Jadi suatu sanad yang seluruh periwayatannya bersifat siqat (adil dan
dabit) tetapi rangkaian para periwayat itu tidak bersambung maka sanad dimaksud
tidak dapat dikatakan berkualitas sahih, dalam hal ini sahih li zatih. Dan
sebaliknya, rangkaian para periwayat suatu sanad yang tampak bersambung, tetapi
salah seorang atau lebih dari periwayatnya ada yang tidak siqat maka sanad
tersebut tidak dapat juga dinyatakan berkualitas sahih.
Walaupun jumlah periwayat yang terlibat dalam sanad cukup banyak dan
beragam, tetapi dilihat dari peran para periwayat sebagai saksi atas peristiwa
terjadinya suatu hadis, mereka itu pasti termasuk salah satu dari dua
kemungkinan. Yaitu, mungkin periwayat yang langsung menyaksikan atau mengalami
terjadinya hadis Nabi, atau mungkin berperan bukan sebagai periwayat pertama,
yaitu periwayat yang tidak langsung menyaksikan atau mengalami terjadinya hadis
Nabi.
Periwayat pertama dalam ilmu sejarah disebut sebagai saksi primer dan dapat
dipastikan dari kalangan sahabat Nabi, karena hanya sahabat Nabi yang
memungkinkan langsung dapat menyaksikan sabda, perbuatan, hal ihwal, dan taqrir
Nabi. Sedangkan, periwayat yang berstatus bukan periwayat pertama dalam ilmu
sejarah dikenal dengan istilah saksi sekunder, mungkin berstatus sebagai
sahabat Nabi dan mungkin juga bukan sahabat Nabi. Periwayat yang bukan sahabat
Nabi, dalam berbagai kitab himpunan hadis yang beredar sekarang mungkin dikenal
dengan status sebagai al-makharrij (penghimpun hadis) dan mungkin juga bukan
al-mukharrij. Oleh sebab itu penulis akan mereview buku ini dengan bab yang membahas kualitas periwayatan dalam sanad yang
sudah dituliskan dalam buku karya Dr. M. Syuhudi Ismail ini.
A.
Periwayat yang Berstatus Saksi Primer
Periwayat
yang dapat diterima riwayatnya adalah periwayat yang bersifat adil dan dabit. Menurut kaidah kesahihan sanad hadis yang telah
disepakati oleh mayoritas ulama hadis, jumlah periwayat tidak menjadi
persyaratan. Ini berarti, periwayat yang hanya seorang saja asal dia bersifat
adil dan dabit telah dapat diterima riwayatnya. Adanya syahid atau mutabi’
tidak menjadi syarat utama keabsahan periwayat. Fungsi syahid dan mutabi’
adalah sebagai penguat semata.
Dalam
ilmu sejarah dinyatakan, pada prinsipnya suatu fakta yang dikemukakan oleh
saksi barulah dapat diterima bila ada corroboration (dukungan) berupa
saksi lain yang merdeka dalam mengemukakan laporannya dan dapat dipercaya. Ini
berarti saksi yang hanya seorang diri merupakan suatu jalan keluar bila saksi
yang memiliki corroboorator berupa saksi lain yang tidak didapatkan.
Kemudian
di segi yang lain, ilmu hadis sejalan dengan ilmu sejarah yakni sama-sama
menilai lebih kuat terhadap saksi (periwayat) yang memiliki corroborator
berupa saksi lain (syahid atau mutabi’) daripada saksi
(periwayat) yang sendirian (fard atau garib). Hal ini tampak jelas pada
contoh hadis yang dibahas di halaman berikut tentang kritik terhadap pribadi
sahabat Nabi. Ini berarti juga bahwa saksi primer yang memiliki syahid lebih
kuat kedudukannya daripada yang tidak memiliki syahid.
Menurut
ilmu hadis, Aisyah dan Ummu Salamah dalam hal ini dinilai lebih kuat riwayatnya
dibandingkan dengan al-Fadl. Karena Aisyah dan Ummu Salamah, keduanya adalah
istri Nabi, pasti lebih mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan hubungan suami
istri daripada orang lain, walaupun orang lain itu masih ada hubungan
kekeluargaan dengan Nabi.
Walaupun
demikian dalam ilmu sejarah terdapat ketentuan yang secara tidak langsung
mengemukakan hal-hal yang berkenaan dengan sifat adil yang dibahas oleh ilmu
hadis. Yakni ketentuan yang mengatakan bahwa seorang saksi baru dapat diterima
kesaksiannya bila dia telah memenuhi kredibilitas umum. Salah satu bentuk
kredibilitas umum saksi ialah saksi itu memiliki reputasi sebagai seorang yang
cinta kebenaran. Ini berarti, ilmu sejarah mensyaratkan kesaksian saksi tentang
suatu fakta sejarah barulah dapat diterima bila pribadi saksi itu betul-betul
telah dapat dipercaya. Jadi, pendapat yang menyatakan bahwa semua sahabat Nabi
bersifat adil, tanpa kecuali dan tanpa diadakan penelitian terlebih dahulu
terhadap tiap individunya adalah pendapat yang tidak sejalan dengan ketentuan
yang berlaku dalam ilmu sejarah.
B.
Periwayat yang Berstatus Bukan Saksi Primer
Periwayat
yang berstatus bukan saksi primer mungkin berasal dari kalangan sahabat Nabi
dan mungkin tidak berasal dari kalangan sahabat Nabi. Periwayat yang bukan
sahabat Nabi mungkin berkedudukan sebagai al-mukharrij dan mungkin bukan
al-mukharrij. Hadis yang disampaikan oleh sahabat Nabi yang tidak berstatus
sebagai saksi primer mungkin berasal dari riwayat yang dikemukakan oleh sahabat
Nabi dan mungkin berasal dari riwayat al-tabi’in. Apabila sahabat yang tidak
berstatus sebagai saksi primer tatkala menyampaikan riwayat hadisnya tanpa
terlebih dahulu menyebutkan nama periwayatnya yang telah menyampaikan hadis itu
kepadanya, maka hadis tersebut di namai sebagai hadis mursal sahabiy. Sebagian
ulama hadis berpendapat, hadis mursal sahabiy bersambung sanad-nya dari sahabat
yang bukan saksi primer itu kepada Nabi.
Menurut
ilmu sejarah, apabila kesaksian saksi primer tidak diperoleh maka dapat
digunakan kesaksian saksi sekunder terbaik yang ada dengan syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat itu bukan hanya berkaitan dengan sifat dan kondisi
saksi sekunder saja melainkan berkaitan juga dengan sifat dan kondisi saksi primer
yang menjadi sumbernya. Kalau begitu hadis mursal sahabiy masih ditoleransi
oleh ilmu sejarah, asalkan sahabat Nabi yang berstatus bukan saksi primer dan
periwayat lain yang “digugurkan”-nya itu memenuhi persyaratan sebagai periwayat
yang dapat diterima riwayatnya. Yakni sama-sama bersifat adil dan dabit. Ini
berarti hadis mursal sahabiy yang dapat dibenarkan sebagai sumber oleh ilmu
sejarah, sedikitnya haruslah diketahui terlebih dahulu pribadi periwayat yang
telah “digugurkan” oleh sahabat yang tidak berstatus sebagai saksi primer
tersebut.
Dalam
kaitan ini ilmu sejarah tidak
menjelaskan bagaimana bila saksi yang “digugurkan” itu bukan hanya saksi primer
saja, melainkan juga saksi sekunder. Tampaknya, ilmu sejarah tetap dapat
memberikan toleransi sepanjang para periwayat yang “digugurkan” itu dapat
diketahui orangnya dan memenuhi kriteria sebagai periwayat yang kredibel dalam
hal ini adil dan dabit. Selanjutnya periwayat yang bukan sahabat Nabi mungkin
berstatus al-tabi’in termasuk di dalamnya al-mukhadramin. Mungkin atba’
al-tabi’in (generasi umat islam yang sempat bertemu dengan al-tabi’in), mungkin
atba’ atba’ al-tabi’in (generasi umat islam yang sempat bertemu dengan atba’
al-tabi’in) dan mungkin generasi umat islam sesudahnya.
Sanad
hadis yang mereka kemukakan, sebagaaimana telah disinggung di pembahasan
terdahulu, ada yang memiliki mutabi’ dan ada yang tidak memilikinya. Sanad yang
memiliki mutabi’ lebih kuat kedudukannya daripada sanad yang tidak memiliki
mutabi’. Asalkan semua periwayatnya sama-sama berkualitas siqat, karena
ketentuan yang menyatakan riwayat isnayn tuqaddam ‘ala riwayat wahid berlaku
juga untuk periwayat yang berstatus bukan sahabat Nabi. Kalau begitu ketentuan
ini pun sejalan juga dengan ketentuan dalam ilmu sejarah yang menyatakan saksi
yang memiliki corroborator berupa saksi lain lebih kuat daripada saksi yang
tidak memiliki corroborator.
Untuk
periwayat yang berstatus al-mukharrij, ulama pada umunya berpendapat bahwa
hadis yang diriwayatkan oleh al-bukhariy dan Muslim mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi daripada yang diriwayatkan oleh selain al-bukhariy dan Muslim.
Tetapi dalam hal ini perlu segera dinyatakan bahwa ketentuan tersebut bersifat
umum. Maksudnya hadis yang termaktub dalam kitab-kitab Sahih al-Bukhariy dan
Sahih Muslim pada umumnya berkualitas lebih tinggi daripada hadis yang
termaktub dalam kitab-kitab hadis selain dari kedua kitab tersebut.
Dengan
demikian tidak tertutup kemungkinan ada hadis tertentu yang termaktub dalam
kitab lain,misalnya dalam Sunan Abiy Dawud, kualitasnya lebih tinggi daripada
hadis yang termaktub dalam Sahih al-Bukhariy ataupun Sahih Muslim. Menurut
kaidah kesahihan sanad hadis adalah
keadilan dan ke-dabit-annya. Terhadap para periwayat yang tidak berstatus
sahabat Nabi, ulama hadis tidak “mengistimewakannya”. Jadi mereka tidak
diperlakukan seperti sahabat Nabi yang terbebas dari kritik dibidang keadilan.
Cara mengetahui keadilan
periwayat berdasarkan pada :
·
Popularitas keutamaan periwayat yang bersangkutan
dikalangan ulama hadis.
·
Pernilaian dari para kritikus periwayat hadis , dan
·
Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil
Sedangkan cara
mengetahui kedabitan periwayat ialah brdasarkan pada :
·
Kesaksian ulama hadis
·
Kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan
oleh periwayat yang telah dikenal kedabitannya
·
Sekiranya pernah terjadi kekeliruan, maka kekeliruan yang
dilakukan oleh periwayat itu hanyalah sekali-kali saja (tidak sering terjadi)
Jadi,
yang memegang peranan penting dalam penetapan keadilan dan kedabitan periwayat
ialah kesaksian ulama,dalam hal ini ulama ahli kritik periwayat hadis. Adapun
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang kritikus periwayat hadis
(al-jarih wa al-mu’addil) cukup banyak. Syarat-syarat itu dapat dipilah menjadi
dua kelompok yaitu :
1. Yang
berkenaan dengan sikap pribadi:
a.
Bersifat adil, dalam pengertian ilmu hadis dan sifat
adilnya itu tetap terpelihara tatkala melakukan pernilaian terhadap periwayat
hadis.
b.
Tidak bersikap fanatik terhadap aliran yang dianutnya
c.
Tidak bersikap bermusuhan dengan periwayat yang berbeda
aliran dengannya
2. Yang
berkenaan dengan penguasaan pengetahuan, yakni memiliki pengetahuan yang luas
dan mendalam, khususnya yang berkenaan dengan :
a.
Ajaran Islam
b.
Bahasa Arab
c.Hadis dan Ilmu Hadis
d.
Pribadi periwayat yang dikritiknya
e.
Adat Istiadat (al-’urf)
f. Sebab-sebab
keutamaan dan ketercelaan periwayat
Jadi
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang kritikus periwayat hadis cukup
ketat, karena jumlah ulama yang diakui memiliki kompetensi di bidang kritik
periwayat hadis, relatif tidak banyak. Apabila syarat-syarat kritikus periwayat
hadis tersebut dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku dalam ilmu sejarah,
maka syarat-syarat keharusan bersifat adil dan memiliki pengetahuan ajaran
Islam merupakan sebagian dari ciri khusus yang menonjol yang tidak disinggung
oleh ilmu sejarah.
Pada
dasarnya, norma-norma itu ditetapkan oleh ulama dengan tujuan selain untuk
memelihara obyektifitas pernilaian periwayat secara bertanggung jawab, juga
untuk memelihara segi-segi akhlak yang mulia menurut nilai-nilai Islam.
Walaupun
kaidah kesahihan sanad hadis dinyatakan memiliki tingkat akurasi yang tinggi,
hal ini tidak berarti bahwa kritik terhadap matan hadis tidak diperlukan.
Karena, tujuan akhir dari penelitian sanad adalah untuk mendapatkan matan hadis
yang berkualitas sahih. “Kondisi” matan hadis bagaimana pun juga ada diantara
yang belum “terjangkau” oleh kaidah kesahihan sanad hadis. Para periwayat hadis
dalam melaporkan matan hadis pada umumnya terikat pada apa yang tampak dari
luar. Sedang apa yang menjadi “rahasia” dari matan hadis itu masih diperlukan
penelitian tersendiri.
Demikian
review dari buku karya Dr. M. Syuhudi
Ismail. Buku ini sangat cocok untuk dibaca bagi orang yang sedang mencari
sumber mengenai kaidah kesahihan sanad hadis
karena di dalamnya berisi telaah kritis mengenai
tinjauan dengan pendekatan ilmu sejarah.
Selain itu buku ini memuat beberapa sudut pandang
mengenai kesahihan hadis dengan dua sudut pandang
yang berbeda yakni melalui sudut pandang ilmu hadis dan melalui sudut pandang ilmu sejarah. Namun, buku ini memiliki susunan bahasa
yang tingkat
tinggi, sehingga
sangat sulit dipahami bagi orang awam,
terlebih jika orang tersebut tidak memiliki
dasar-dasar tentang ilmu hadis pada umumnya,
karena dalam buku ini banyak sekali menggunakan
istilah asing dan yang
paling banyak yaitu istilah Arab yang tidak semua orang
mengerti akan maksudnya.
0 komentar:
Posting Komentar