Selasa, 12 April 2016

Review Buku



REVIEW BUKU
“KAIDAH KESAHIHAN SANAD HADIS”
KARYA Dr. M. SYUHUDI ISMAIL
BAB V : KUALITAS PERIWAYATAN DAN PERSAMBUNGAN SANAD



Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits
Dosen : Rahmadi Wibowo S, Lc., M.A


 

Oleh :
IKA MADYARINA MASTUTI
20140720124
PAI C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015
Judul buku                  : Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan    dengan Pendekatan Ilmu Sejarah
Penulis                       : Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail
Jumlah halaman        : 270 halaman
Penerbit                     : PT. Bulan Bintang
Kota terbit                  : Jakarta
Tahun terbit                : 2005

BAB V
KUALITAS PERIWAYAT DAN PERSAMBUNGAN SANAD

Dalam menentukan kualitas periwayat dan persambungan sanad ada hal yang menjadi bagian-bagian sanad hadis yang menjadi sasaran penelitian hadis yaitu para periwayat dalam sanad tersebut dan rangkaian persambungannya mulai dari periwayat yang disandari oleh penghimpun hadits (al-mukharrij) sampai kepada Nabi. Jadi suatu sanad yang seluruh periwayatannya bersifat siqat (adil dan dabit) tetapi rangkaian para periwayat itu tidak bersambung maka sanad dimaksud tidak dapat dikatakan berkualitas sahih, dalam hal ini sahih li zatih. Dan sebaliknya, rangkaian para periwayat suatu sanad yang tampak bersambung, tetapi salah seorang atau lebih dari periwayatnya ada yang tidak siqat maka sanad tersebut tidak dapat juga dinyatakan berkualitas sahih.
Walaupun jumlah periwayat yang terlibat dalam sanad cukup banyak dan beragam, tetapi dilihat dari peran para periwayat sebagai saksi atas peristiwa terjadinya suatu hadis, mereka itu pasti termasuk salah satu dari dua kemungkinan. Yaitu, mungkin periwayat yang langsung menyaksikan atau mengalami terjadinya hadis Nabi, atau mungkin berperan bukan sebagai periwayat pertama, yaitu periwayat yang tidak langsung menyaksikan atau mengalami terjadinya hadis Nabi.
Periwayat pertama dalam ilmu sejarah disebut sebagai saksi primer dan dapat dipastikan dari kalangan sahabat Nabi, karena hanya sahabat Nabi yang memungkinkan langsung dapat menyaksikan sabda, perbuatan, hal ihwal, dan taqrir Nabi. Sedangkan, periwayat yang berstatus bukan periwayat pertama dalam ilmu sejarah dikenal dengan istilah saksi sekunder, mungkin berstatus sebagai sahabat Nabi dan mungkin juga bukan sahabat Nabi. Periwayat yang bukan sahabat Nabi, dalam berbagai kitab himpunan hadis yang beredar sekarang mungkin dikenal dengan status sebagai al-makharrij (penghimpun hadis) dan mungkin juga bukan al-mukharrij. Oleh sebab itu penulis akan mereview buku ini dengan bab yang  membahas kualitas periwayatan dalam sanad yang sudah dituliskan dalam buku karya Dr. M. Syuhudi Ismail ini.
A.   Periwayat yang Berstatus Saksi Primer
Periwayat yang dapat diterima riwayatnya adalah periwayat yang bersifat adil dan dabit. Menurut kaidah kesahihan sanad hadis yang telah disepakati oleh mayoritas ulama hadis, jumlah periwayat tidak menjadi persyaratan. Ini berarti, periwayat yang hanya seorang saja asal dia bersifat adil dan dabit telah dapat diterima riwayatnya. Adanya syahid atau mutabi’ tidak menjadi syarat utama keabsahan periwayat. Fungsi syahid dan mutabi’ adalah sebagai penguat semata.
Dalam ilmu sejarah dinyatakan, pada prinsipnya suatu fakta yang dikemukakan oleh saksi barulah dapat diterima bila ada corroboration (dukungan) berupa saksi lain yang merdeka dalam mengemukakan laporannya dan dapat dipercaya. Ini berarti saksi yang hanya seorang diri merupakan suatu jalan keluar bila saksi yang memiliki corroboorator berupa saksi lain yang tidak didapatkan.
Kemudian di segi yang lain, ilmu hadis sejalan dengan ilmu sejarah yakni sama-sama menilai lebih kuat terhadap saksi (periwayat) yang memiliki corroborator berupa saksi lain (syahid atau mutabi’) daripada saksi (periwayat) yang sendirian (fard atau garib). Hal ini tampak jelas pada contoh hadis yang dibahas di halaman berikut tentang kritik terhadap pribadi sahabat Nabi. Ini berarti juga bahwa saksi primer yang memiliki syahid lebih kuat kedudukannya daripada yang tidak memiliki syahid.
Menurut ilmu hadis, Aisyah dan Ummu Salamah dalam hal ini dinilai lebih kuat riwayatnya dibandingkan dengan al-Fadl. Karena Aisyah dan Ummu Salamah, keduanya adalah istri Nabi, pasti lebih mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan hubungan suami istri daripada orang lain, walaupun orang lain itu masih ada hubungan kekeluargaan dengan Nabi.
Walaupun demikian dalam ilmu sejarah terdapat ketentuan yang secara tidak langsung mengemukakan hal-hal yang berkenaan dengan sifat adil yang dibahas oleh ilmu hadis. Yakni ketentuan yang mengatakan bahwa seorang saksi baru dapat diterima kesaksiannya bila dia telah memenuhi kredibilitas umum. Salah satu bentuk kredibilitas umum saksi ialah saksi itu memiliki reputasi sebagai seorang yang cinta kebenaran. Ini berarti, ilmu sejarah mensyaratkan kesaksian saksi tentang suatu fakta sejarah barulah dapat diterima bila pribadi saksi itu betul-betul telah dapat dipercaya. Jadi, pendapat yang menyatakan bahwa semua sahabat Nabi bersifat adil, tanpa kecuali dan tanpa diadakan penelitian terlebih dahulu terhadap tiap individunya adalah pendapat yang tidak sejalan dengan ketentuan yang berlaku dalam ilmu sejarah.
B.   Periwayat yang Berstatus Bukan Saksi Primer
Periwayat yang berstatus bukan saksi primer mungkin berasal dari kalangan sahabat Nabi dan mungkin tidak berasal dari kalangan sahabat Nabi. Periwayat yang bukan sahabat Nabi mungkin berkedudukan sebagai al-mukharrij dan mungkin bukan al-mukharrij. Hadis yang disampaikan oleh sahabat Nabi yang tidak berstatus sebagai saksi primer mungkin berasal dari riwayat yang dikemukakan oleh sahabat Nabi dan mungkin berasal dari riwayat al-tabi’in. Apabila sahabat yang tidak berstatus sebagai saksi primer tatkala menyampaikan riwayat hadisnya tanpa terlebih dahulu menyebutkan nama periwayatnya yang telah menyampaikan hadis itu kepadanya, maka hadis tersebut di namai sebagai hadis mursal sahabiy. Sebagian ulama hadis berpendapat, hadis mursal sahabiy bersambung sanad-nya dari sahabat yang bukan saksi primer itu kepada Nabi.
Menurut ilmu sejarah, apabila kesaksian saksi primer tidak diperoleh maka dapat digunakan kesaksian saksi sekunder terbaik yang ada dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu bukan hanya berkaitan dengan sifat dan kondisi saksi sekunder saja melainkan berkaitan juga dengan sifat dan kondisi saksi primer yang menjadi sumbernya. Kalau begitu hadis mursal sahabiy masih ditoleransi oleh ilmu sejarah, asalkan sahabat Nabi yang berstatus bukan saksi primer dan periwayat lain yang “digugurkan”-nya itu memenuhi persyaratan sebagai periwayat yang dapat diterima riwayatnya. Yakni sama-sama bersifat adil dan dabit. Ini berarti hadis mursal sahabiy yang dapat dibenarkan sebagai sumber oleh ilmu sejarah, sedikitnya haruslah diketahui terlebih dahulu pribadi periwayat yang telah “digugurkan” oleh sahabat yang tidak berstatus sebagai saksi primer tersebut.
Dalam kaitan  ini ilmu sejarah tidak menjelaskan bagaimana bila saksi yang “digugurkan” itu bukan hanya saksi primer saja, melainkan juga saksi sekunder. Tampaknya, ilmu sejarah tetap dapat memberikan toleransi sepanjang para periwayat yang “digugurkan” itu dapat diketahui orangnya dan memenuhi kriteria sebagai periwayat yang kredibel dalam hal ini adil dan dabit. Selanjutnya periwayat yang bukan sahabat Nabi mungkin berstatus al-tabi’in termasuk di dalamnya al-mukhadramin. Mungkin atba’ al-tabi’in (generasi umat islam yang sempat bertemu dengan al-tabi’in), mungkin atba’ atba’ al-tabi’in (generasi umat islam yang sempat bertemu dengan atba’ al-tabi’in) dan mungkin generasi umat islam sesudahnya.
Sanad hadis yang mereka kemukakan, sebagaaimana telah disinggung di pembahasan terdahulu, ada yang memiliki mutabi’ dan ada yang tidak memilikinya. Sanad yang memiliki mutabi’ lebih kuat kedudukannya daripada sanad yang tidak memiliki mutabi’. Asalkan semua periwayatnya sama-sama berkualitas siqat, karena ketentuan yang menyatakan riwayat isnayn tuqaddam ‘ala riwayat wahid berlaku juga untuk periwayat yang berstatus bukan sahabat Nabi. Kalau begitu ketentuan ini pun sejalan juga dengan ketentuan dalam ilmu sejarah yang menyatakan saksi yang memiliki corroborator berupa saksi lain lebih kuat daripada saksi yang tidak memiliki corroborator.
Untuk periwayat yang berstatus al-mukharrij, ulama pada umunya berpendapat bahwa hadis yang diriwayatkan oleh al-bukhariy dan Muslim mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada yang diriwayatkan oleh selain al-bukhariy dan Muslim. Tetapi dalam hal ini perlu segera dinyatakan bahwa ketentuan tersebut bersifat umum. Maksudnya hadis yang termaktub dalam kitab-kitab Sahih al-Bukhariy dan Sahih Muslim pada umumnya berkualitas lebih tinggi daripada hadis yang termaktub dalam kitab-kitab hadis selain dari kedua kitab tersebut.
Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan ada hadis tertentu yang termaktub dalam kitab lain,misalnya dalam Sunan Abiy Dawud, kualitasnya lebih tinggi daripada hadis yang termaktub dalam Sahih al-Bukhariy ataupun Sahih Muslim. Menurut kaidah kesahihan  sanad hadis adalah keadilan dan ke-dabit-annya. Terhadap para periwayat yang tidak berstatus sahabat Nabi, ulama hadis tidak “mengistimewakannya”. Jadi mereka tidak diperlakukan seperti sahabat Nabi yang terbebas dari kritik dibidang keadilan.
Cara mengetahui keadilan periwayat  berdasarkan pada :
·        Popularitas keutamaan periwayat yang bersangkutan dikalangan ulama hadis.
·        Pernilaian dari para kritikus periwayat hadis , dan
·        Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil
Sedangkan cara mengetahui kedabitan periwayat ialah brdasarkan pada :
·        Kesaksian ulama hadis
·        Kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat yang telah dikenal kedabitannya
·        Sekiranya pernah terjadi kekeliruan, maka kekeliruan yang dilakukan oleh periwayat itu hanyalah sekali-kali saja (tidak sering terjadi)
Jadi, yang memegang peranan penting dalam penetapan keadilan dan kedabitan periwayat ialah kesaksian ulama,dalam hal ini ulama ahli kritik periwayat hadis. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang kritikus periwayat hadis (al-jarih wa al-mu’addil) cukup banyak. Syarat-syarat itu dapat dipilah menjadi dua kelompok yaitu :
1.  Yang berkenaan dengan sikap pribadi:
a.    Bersifat adil, dalam pengertian ilmu hadis dan sifat adilnya itu tetap terpelihara tatkala melakukan pernilaian terhadap periwayat hadis.
b.    Tidak bersikap fanatik terhadap aliran yang dianutnya
c.    Tidak bersikap bermusuhan dengan periwayat yang berbeda aliran dengannya
2.             Yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan, yakni memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam, khususnya yang berkenaan dengan :
a.    Ajaran Islam
b.    Bahasa Arab
c.Hadis dan Ilmu Hadis
d.    Pribadi periwayat yang dikritiknya
e.    Adat Istiadat (al-’urf)
f.  Sebab-sebab keutamaan dan ketercelaan periwayat
Jadi syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang kritikus periwayat hadis cukup ketat, karena jumlah ulama yang diakui memiliki kompetensi di bidang kritik periwayat hadis, relatif tidak banyak. Apabila syarat-syarat kritikus periwayat hadis tersebut dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku dalam ilmu sejarah, maka syarat-syarat keharusan bersifat adil dan memiliki pengetahuan ajaran Islam merupakan sebagian dari ciri khusus yang menonjol yang tidak disinggung oleh ilmu sejarah.
Pada dasarnya, norma-norma itu ditetapkan oleh ulama dengan tujuan selain untuk memelihara obyektifitas pernilaian periwayat secara bertanggung jawab, juga untuk memelihara segi-segi akhlak yang mulia menurut nilai-nilai Islam.
Walaupun kaidah kesahihan sanad hadis dinyatakan memiliki tingkat akurasi yang tinggi, hal ini tidak berarti bahwa kritik terhadap matan hadis tidak diperlukan. Karena, tujuan akhir dari penelitian sanad adalah untuk mendapatkan matan hadis yang berkualitas sahih. “Kondisi” matan hadis bagaimana pun juga ada diantara yang belum “terjangkau” oleh kaidah kesahihan sanad hadis. Para periwayat hadis dalam melaporkan matan hadis pada umumnya terikat pada apa yang tampak dari luar. Sedang apa yang menjadi “rahasia” dari matan hadis itu masih diperlukan penelitian tersendiri.
Demikian review dari buku karya Dr. M. Syuhudi Ismail. Buku ini sangat cocok untuk dibaca bagi orang yang sedang mencari sumber mengenai kaidah kesahihan sanad hadis karena di dalamnya berisi telaah kritis mengenai tinjauan dengan pendekatan ilmu sejarah. Selain itu buku ini memuat beberapa sudut pandang mengenai kesahihan hadis dengan dua sudut pandang yang berbeda yakni melalui sudut pandang ilmu hadis dan melalui sudut pandang ilmu sejarah. Namun, buku ini memiliki susunan bahasa yang tingkat tinggi, sehingga sangat sulit dipahami bagi orang awam, terlebih jika orang tersebut tidak memiliki dasar-dasar tentang ilmu hadis pada umumnya, karena dalam buku ini banyak sekali menggunakan istilah asing dan yang paling banyak yaitu istilah Arab yang tidak semua orang mengerti akan maksudnya.

0 komentar:

Posting Komentar